Tolong bantu membuat abstrak novel
B. Indonesia
ErlianaDea15
Pertanyaan
Tolong bantu membuat abstrak novel
1 Jawaban
-
1. Jawaban agilliaberyta
Kubur
Tak banyak tahu, apa kerjaan Mbah Tejo dan Mbah Marti di gubuk reotnya di pinggir Kalitambun, pekuburan yang sudah jadi lahan pekerjaan Mbah Tejo puluhan tahun. Setahu orang-orang, Mbah Marti begitu setia pada Mbah Tejo. Sehari-hari mencari pucuk singkong di sekitar pekuburan, atau dedaunan apapun untuk makan si Mbah. Mbah Marti juga tak pernah menolak jika ada orang yang datang untuk mengiriminya makanan, sekadar buat sekali makan.
Hanya saja di pagi itu, kedua Mbah itu tak tampak bergiat di sekeliling pekuburan. Tak ada yang menyiangi tanah pekuburan, membersihkan nisan-nisan yang tertutup daun kamboja. Mbah Marti tak tampak mencabuti daun singkong yang tumbuh lebat di atas kuburan. Gubuk reotnya tampak sepi. Bohlam oranye 5 watt yang menggantung di atas langit-langit tampak masih menyala.
“Mbah … Mbah …” seru Warjiman, lelaki yang setiap pagi melewati Kalitambun untuk pergi ke ladangnya. Dia adalah lelaki pertama yang menaruh curiga. Ada gelagat yang tidak biasa, menurutnya.
Tak ada yang menyahut dari balik gubuk. Warjiman mulai masuk ke pekarangan. Ditengoknya pinggiran gubug. Warjiman memastikan, apakah Mbah Tejo dan Mbah Marti ada di sekitaran Kalitambun. Pandangannya menyapu seluruh Kalitambun, tapi tak terlihat kedua renta itu berada.
Warjiman mengetuk pintu kayu yang hanya tinggal empat perlimanya.
Tok tok tok. “Mbah!” seru Warjiman lantang. Bukannya tidak santun, tapi memanggil Mbah Tejo dan Mbah Marti memang harus dengan suara keras. Tapi tak ada juga yang menyahut.
Warjiman sedikit mendorong pintu kayu yang bawahnya sudah hampir habis digerogoti rayap. Kepalanya melongok bagian dalam gubug.
“Astagfirullah!” Warjiman kaget. Ia mendapati Mbah Tejo bersila menghadap seseorang yang tertidur tertutup kain samping. Ia hanya melihat Mbah Tejo memunggunginya.
“Mbah ….” lirih Warjiman. Tapi tak ada jawab.
Warjiman mencoba masuk dan mendekati. Hingga akhirnya ia mendapati seseorang dengan tubuh tertutupi kain samping terlentang di hadapan Mbah Tejo yang duduk bersila tanpa gerak.
“Innaalillaahi,” Warjiman tak bisa berkata-kata. Sambil berdiri dia hanya terkejut melihat Mbah Tejo yang menghadapi jenazah istrinya sendiri.
Orang sekampung berduyun-duyun mendatangi Mbah Tejo. Ada Pak Kuwu dan mantri. Tak ketinggalan Pak Ustad yang selalu memimpin doa jika ada yang mati. Tapi semua saling pandang. Siapa yang mau menggali kubur. Sedang penggali kubur di Kampung Busur hanya Mbah Tejo yang kini tak bergeming sedari tadi di hadapan jenazah sang pujaan hati.
Semua orang berbondong-bondong membawa cangkul.. Semua orang mulai menggali. Satu orang satu kali menggali. Hingga semua berbagi pahala. Mbah Tejo kemudian membopong Mbah Marti. Dia tak mau yang lain ikut menggendong, apalagi diarak keranda mayat.
Setelah satu liang lahat selesai digali, dengan sigap Mbah Tejo menidurkan sang istri tepat menghadap kiblat. Tak ada yang lainnya yang turun. Semua membiarkan Mbah Tejo asyik menguburkan sang istri. Hingga selesai diazani, Pak Ustad meminta yang menggali untuk kembali menutupi liang lahat dengan tanah. Setelah kuburan Mbah Marti selesai diratakan dengan tanah, Mbah Tejo tak terlihat lagi. Semua orang menengok kanan kiri. Semua menyapu pandangan ke penjuru Kalitambun.
Mbah Tejo pergi, Pak Ustad pun tak tahu ke mana pergi si kakek tukang kubur itu. Mungkin saatnya, ia mencari tukang kubur baru di Kampung Busur.
(Reza Sukma Nugraha)